Sabtu, 02 Oktober 2010

Surat ungu itu 1

Aku memegang amplop berwarna ungu itu. Warna yang disukainya. Tanganku gemetar. Seharusnya surat berwarna ungu ini tidak pernah sampai ke tanganku seandainya saja kejadian itu tidak pernah terjadi. Kusentuh pelan amplop itu, sudah 15 menit berlalu sejak aku menerimanya tapi aku belum juga membukanya. Kusentuh setiap garis lipatan yang direkatkan dengan lem itu. Hatiku ingin cepat-cepat membacanya tapi bagian hatiku yang lain , melarangku untuk membukanya.

Aku terdiam 20 menit disini, hanya untuk bergulat dalam diriku sendiri.

Kuputuskan untuk membukanya.

Pasti ada sesuatu yg harus disampaikannya.

Kukeluarkan 2 lembar kertas dari dalamnya dan sebuah foto. Tanganku bergetar semakin keras. Mataku membaca baris demi baris dengan seksama, kata demi kata, tidak ada yang terlewat satupun. Hatiku bergemuruh kencang. Aku jatuh terduduk lemas.

Mungkin seharusnya aku memang tidak perlu membaca surat ini.

***

4 tahun yang lalu

Jam menunjukan pukul 5 sore lebih 34 menit. Seharusnya seluruh sekolah sudah sepi dan tidak ada aktivitas apapun selain mang hadi yang memang tidur disini. Tapi dia disana, tepat didepanku menjerit sekencang-kencangnya. Tas dipegangan tangannya terjatuh mengeluarkan separus isinya ketanah. Aku terduduk lemas di sudut sekolah sebelah gudang. Wajahku bengkak nyaris tidak berbentuk dan bajuku kotor dengan tanah dan darahku sendiri. Tidak heran dia berteriak sekencang itu. aku ingin menghentikannya tapi tubuhku sakit sekali. Rasanya seperti baru saja ditabrak sebuah truk besar.

Perempuan bertubuh kecil itu tampak berlari tergesa-gesa menuju gerbang sekolah melupakan tasnya yang terjatuh tadi. Akh, akan kukembalikan nanti. Kucoba untuk bangun, tapi aku langsung terjatuh kembali. Punggungku menabrak meja bekas yang sudah tidak terpakai.

“aargghh...” aku menjerit pelan. Kulihat tanganku yang kotor dan penuh darah. Kulihat betapa menyedihkannya aku sekarang. Kotor, penuh tanah dan darah, menahan sakit sendirian di belakang sekolah layaknya seorang gembel. Aku tertawa terkekeh-kekeh.

Inilah aku.

Awan. Seorang siswa kaya raya, pintar dan selalu menjadi kebanggaan setiap orang! Lihatlah aku sekarang! Awan yang selalu kalian elu-elukan kotor dan duduk di tanah layaknya pengemis. Kurasakan sesuatu turun di pipiku yang bengkak. Ada air mata disana. Aku tidak pernah menangis sepanjang hidupku. Dan kini air mata itu mengalir begitu saja. Begitu menyedihkanyakah aku sekarang?

Kucoba mengangkat tubuhku sekali lagi, dadaku terasa sesak bila aku bergerak. Aku terbatuk, dapat kurasakan darah mengalir dari bibirku. Cuuhh!!! Kuludahkan semua darah dari mulutku. Sial, kali ini sakit sekali.

Tiba-tiba kudengar suara langkah kaki berlarian di koridor sekolah. Seharusnya sudah idak ada siapa-siapa sekarang. Langit hampir gelap, mungkin sekarang sudah jam 6 kurang. Jangan-jangan kelompok mereka? Kupaksakan tubuhku berdiri mencoba mencari tempat sembunyi. Saat ini keadaanku tidak memungkinkan untuk meladeni mereka lagi. Aku bisa mati.

Derap langkah itu semakin mendekat, dapat kudengar bukan hanya seorang yang datang. Aku harus cepat sembunyi. Namun terlambat derap langkah itu semakin dekat. Kulihat 2 sosok menghampiriku. Mataku terbelalak. Ternyata perempuan kecil tadi! Kulihat mang hadi di sebelahnya, wajahnya tampak terkejut melihat keadaanku. Tidak kusangka perempuan itu kembali lagi dan membawa mang hadi. Kupikir dia sudah lari jauh atau memanggil salah satu guru agar aku diskors.

Perempuan mungil itu mendekatiku, wajahnya tampak sangat cemas dan kalut dia sibuk mencerocos pada mang hadi mengungkapkan rasa kekuatirannya. Aku sendiri tidak mendengar apa yang ia katakan, dan sibuk dengan pikiranku sendiri. Kuperhatikan wajahnya yang kalut, kuperhatikan kacamata merah yang bertengger dihidungnya, bibirnya yang mungil, matanya ayng bulat dan besar, tangannya yang memegangi lenganku, sampai suara mang hadi menyadarkanku.

“De! De, ya ampun kamu ga apa2 ??? ko bisa sampe babak belur gini??? Waduuuhhh..... gimana ini?? Mana guru-guru udah pulang lagi”

“jangan panggil guru!!” bentakku. Seketika aku merasakan perasaan bersalah menyelimutiku, seharusnya aku tidak membentak mereka “ nanti saya bisa diskors...” ucapku pelan. Aku menunduk memandangi tanah.

“haduh, si ade ini. Ya udah dibawa ke kamar mang dulu aja ya! Diobatin dikit aja dulu. Nanti mang kasih tau orang tua ade.”

“ga usah. Nanti saya pulang sendiri aja.”

“tapi de...”

“ga apa-apa mang.” Potongku cepat. “kamu juga pulang sana.” Kualihkan wajahku pada wajah cemas di sebelah mang hadi, menggerakan dagu menyuruhnya pulang.

Tidak kusangka dia menolak pulang. Hanya menggeleng. Entah apa maksudnya.

“pulang! Udah gelap” ucapku semakin keras. Tp gelengannyapun makin keras. Dengan jengkel kujelaskan bahwa malam tidak baik untuk perempuan, mang hadipun membantu menjelaskan agar dia pulang. Tapi dengan keras kepalanya dia tidak mau.

“aku mau temenin kamu!”

Satu kalimat dari kepalanya yang keras itu membuat kami menyerah dan membiarkan dia untuk menemaniku.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar